Wednesday, January 06, 2010

Aku ingin menemukan kebebasan
Aku ingin menemukan sebagian kebebasan
Aku ingin menemukan jalan menuju kebebasan
Aku ingin menemukan jalan setapak menemukan kebebasan

Aku bertekuk lutut memuja sang Kebebasan
Aku ingin memanggul Kebebasan

Aku ingin keluar dari rangkuman beban hidup ini
Aku ingin melepaskan borgol pembelenggu jiwa ini

Aku ingin menemukan Kebebasan

Aku ingin menemukan gairah segar Kebebasan
Aku ingin menghirup udara Kebebasan
Aku ingin mendengarkan lagu Kebebasan
Aku ingin terbang merasakan Kebebasan

Hatiku menitikkan darah di dalam dalam dada, karena kutahu, bahwa Kebebasan tak akan pernah menghampiriku
Izinkan aku mencintaimu


Seribu sajak yang terhampar tak jelas
Abjad L O V E terlalu keras kueja

mungkin aku tidak sempurna..
namun dengan ketidaksempurnaanku...
izinkan aku mencintaimu....

Aku mencintaimu,
seperti malam mencintai bintang.

Tanpa bintang,
malam hanyalah gelap.
Tanpamu,
tiada aku sempurna.

pertemuan kita bukan seperti de javu
ia seperti keajaiban
ia membentuk sesuatu yang sulit ku mengerti
kuingin engkau tahu
engkaulah segalanya

Monday, January 04, 2010

Mulla Sadra dalam konsepnya mengenai “Hukum Ketiadaan” antara lain mengingatkan kepada kita tentang kehidupan setelah kematian kita nanti dari alam dunia. Menurut beliau, adanya hukum “tidak mungkin akan kembalinya ketiadaan” atau “tidak mungkin kembali sesuatu yang tidak ada dari ketiadaan” menunjukkan bahwa wujud hakiki kita ini sebenarnya tidak pernah mati atau tidak pernah mengalami fase ketiadaan. Wujud hakiki ini bukanlah tubuh jasmani dan fisik kita.

Mudahnya, untuk memahami konsep rumit Mulla Sadra tersebut, sebenarnya kalau saja kita mau menyadari bahwa tatkala kita sungguh-sungguh mengenali diri ini, maka kita pasti akan menganggap tubuh jasmani dan apa-apa yang secara fisik kita dapatkan dari panca indra kita semuanya adalah semu belaka, hanyalah tempelan, dan bukan hakikat sejati dari segala sesuatu dalam kehidupan ini. Lalu, mengapa kita menyandarkan kebahagiaan pada hakikat palsu dan wujud yang semu ini?

Ucapan Imam Husein bin Ali lahir dari tauladan ayahnya yang justru menyatakan “memperoleh kemenangan dan kebahagiaan” di pengujung akhir hayatnya yang tragis – ketika seseorang telah berhasil membunuhnya. Sabda Imam Ali bin Abi Thalib yang lain, “Kesedihan adalah separuh ketuaan” merupakan makna lain dari kebahagiaan itu sendiri. Apabila kita tidak merasa bahagia dan terus-menerus merasa dirundung kesedihan, maka kita seperti menghabiskan separuh dari hidup kita dengan sia-sia hanya untuk mencari-cari dan mereka-reka apakah kebahagiaan itu. Untuk apa jauh-jauh pergi dan mencarinya, padahal kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri.

Mungkin kira-kira begitu semua ini maksudnya. Memang sangat sulit untuk memaknai kebahagiaan itu seperti mereka. Saya sendiri masih belajar untuk bisa memperoleh pencerahan seperti mereka dalam menggapai makna hakiki “kebahagiaan.” sangat sulit ternyata ^__^ kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakan segalanya, itu semua tergantung kepada kita. Luaskan hati untuk menampung setiap kepahitan. Jgn jadikan hati seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu merendam setiap kepahitan dan mengubahnya jadi kesegaraan dan kebahagian.

Aristotle berkata, “Happines itself is sufficient excuse. Trust thyself.”
(Kebahagiaan itu sendiri adalah alasan yang cukup. Percayalah pada dirimu sendiri.”) Maksudnya, bagi saya, adalah baiklah, marilah kita yakin dan percaya diri bahwa kita bisa menemukan kebahagiaan itu – meraih kebahagiaan hakiki – sebab kebahagiaan itu adalah alasan utama kita untuk terus hidup di dunia ini. Bahkan, bukankah kebahagiaan pula yang kita cita-citakan dalam kehidupan setelah alam fana ini? Mudah-mudahan kita semua bisa berbahagia baik di alam ini dan alam setelah ini.

Dengan mengingat kematian, maka orang akan senantiasa mempersiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya. Berbuat baik, beramal sholeh dan beribadah dengan amat sempurna. Karena dia sadar bahwa segala tujuan kehidupan ini adalah bermuara di Akhirat. Dan karena pada dasarnya kita semua hanyalah sekumpulan manusia yang antri di pintu kematian, untuk menyongsong kehidupan selanjutnya.

Sunday, January 03, 2010

Diriwayatkan oleh Jalaludin al-Suyuthi dalam Tafsir al-Durr al-Mantsur, sebuah dialog antara Nabi besar Muhammad saw sebagai imam dan para sahabatnya sebagai makmum setelah melaksanakan sholat berjama’ah yang haditsnya telah digubah menjadi bentuk puisi:

Usai salat kau pandangi kami
Masih dengan senyum yang sejuk itu
Cahayamu, ya Rasul Allah, tak mungkin kulupakan
Ingin kubenamkan setetes diriku dalam samudra dirimu
Ingin kujatuhkan sebutir debuku dalam sahara tak terhinggamu

Kudengar kau berkata lirih:
Ayyul khalqi a’jabu ilaikum imanan?
Siapa mahluk yang imannya paling mempesona?
Malaikat, Ya Rasul Allah
Bagaimana malaikat tak beriman, bukankah mereka berada di samping Tuhan?
Para nabi, Ya Rasul Allah
Bagaimana nabi tak beriman, bukankah kepada mereka turun wahyu Tuhan?
Kami, para sahabatmu, Ya Rasul Allah
Bagaimana kalian tidak beriman, bukankah aku ditengah-tengah kalian?
Telah kalian saksikan apa yang kalian saksikan

Kalau begitu, siapakah mereka Ya Rasul Allah?

Langit Madinah bening
Bumi Madinah hening
Kami termangu

Siapa gerangan mereka yang imannya paling mempesona?

Kutahan napasku, kuhentikan detak jantungku, kudengar sabdamu
Yang paling menakjubkan imannya
Mereka yang datang sesudahku beriman padaku,
Padahal tidak pernah melihatku dan berjumpa denganku
Yang paling mempesona imannya
Mereka yang tiba setelah aku tiada yang membenarkanku
Tanpa pernah melihatku
Bukankah kami ini saudaramu juga, Ya Rasul Allah?
Kalian sahabat-sahabatku
Saudaraku adalah mereka yang tidak pernah berjumpa denganku
Mereka beriman pada yang ghaib, mendirikan salat
Menginfakkan sebagian rezeki yang Kami beriman kepada mereka

Kami terpaku
Langit madinah bening
Bumi madinah hening

Kudengar lagi engkau berkata:
Alangkah bahagianya aku memenuhi mereka
Suaramu parau, butir-butir air matamu tergenang
Kau rindukan mereka, Ya Rasul Allah
Kau dambakan pertemuan dengan mereka ya Nabi Allah
Assalamu’alaika ayyuhan Nabi wa rahmatullahi wa barakatuh

Dari hadits di atas secara logika kita bisa menilai bahwa apabila kita beriman pada Nabi Muhammad saw dengan sebenar-benarnya maka insya Allah akan ada penilaian tersendiri dari Allah, sebuah kelas tersendiri yang membedakan kita (umat yang ada di dunia ini sesudah Nabi tiada) terhadap sahabat nabi, nabi-nabi yang sebelumnya, bahkan malaikat sekalipun, sebuah kelas yang spesial di mata Allah.

Rasulullah saw bersabda: “Ada 3 hal yang bila ada semuanya pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apapun selain keduanya; kedua, ia mencintai orang semata-mata karena Allah; dan ketiga, ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia benci untuk dilemparkan kedalam api neraka.” (Shahih al-Bukhari)
Engkau jelmaan cahaya Tuhan
Engkau manifestasi kasih sayang Tuhan
Engkau lambang kebesaran Tuhan
Engkau universitas ilmu Tuhan
Engkau symbol kesempurnaan Tuhan.
Bunga bersemi menyibak harum wewangi di sela tiupan angin, menebar harum di
tengah persada bumi. Kautsar telaga surgawi, Aliran sungaimu
menghilangkan haus dahaga Menghirupmu membawa berkah, Berkah dalam
menelusuri sebuah hakikat. Di alam fana yg penuh tanda tanya, Engkaulah
bungaku dan penyelamatku, Penyelamat umat yang mengikutimu,
Engkaulah pelindungku, Pelindung dari sengatan panas yg akan membakarku.

Perahu keluarga al-Musthafa, bawalah aku berlayar Menyusuri lautan cinta